tugas bahasa indonesia



TUGAS BAHASA INDONESIA

berdasarkan artikel berikut, tentukan:
a. topik, tujuan penulisan, dan tesis
b. rumuskan pokok-pokok pikiran dalam artikel tsb
c. berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, buatlah sebuah ringkasan

sumber bacaan: Komposisi karangan Gorys Keraf

tugas dikumpulkan via email mulyohp@yahoo.com paling lambat senin pk 12

terima kasih


Gara-gara Mbah Merapi

Sindhunata
Selasa, 9 November lalu, status Gunung Merapi masih mengancam. Radius berbahaya masih 20 kilometer. Bersama Agus, seorang relawan, pagi itu saya diperkenankan masuk ke daerah Pakem.
Teman-teman relawan di pos pemantauan Desa Mangunan, Harjobinangun, Pakem, mengatakan, status Merapi sedang landai. Kalau masih mau naik ke atas, silakan, asal tidak lebih dari satu jam. Dengan mengendarai mobil, Agus dan saya bergegas naik ke atas, ke dusun Wonorejo, sepuluh kilometer dari Merapi.
Jalanan amat sepi. Kami hanya bertemu beberapa orang yang sedang mengangkut rumput untuk makanan ternak. Mobil tak bisa masuk ke dusun karena sebelum meninggalkan dusun, penduduk merobohkan pohon bambu sebagai penghalang agar desa mereka tidak disatroni pencuri selama mereka mengungsi.
Kami masuk ke desa berjalan kaki. Sunyi senyap segera menyergap kami. Sesekali kesunyian itu pecah oleh gonggongan anjing. Saya sempatkan diri untuk menengok beberapa kandang sapi dan kambing. Syukurlah, masih tersedia rumput bagi mereka. Hanya ayam-ayam yang kelihatan tak menemukan makanan. Ayam-ayam itu menunduk loyo, dan beberapa ayam tergeletak menjadi bangkai.
Akhirnya kami sampai di Karang Klethak, sebuah lereng di pinggir Dusun Wonorejo yang berbatasan dengan Kali Boyong. Di Karang Klethak ini ada sebuah petilasan, namanya petilasan Mbok Turah. Kami hening sejenak di depan patung Mbok Turah yang diselimuti abu.
Saya ke tepi lereng dan melihat Kali Boyong yang ternyata telah menjadi dangkal dan amat melebar. Saya bertanya, ke mana batu-batu besar yang dulu selalu saya lihat? Batu-batu besar itu ternyata telah tertimbun pasir, yang turun bersama lahar dingin dari puncak Merapi. Kali Boyong di bawah Karang Klethak itu nyaris telah menjadi telaga pasir. Dan melewati celah-celahnya, air sungai mengalir.
Ketakutan kolektif
Di petilasan Mbok Turah, di tengah Gunung Merapi sedang memorakporandakan dan melumpuhkan segalanya, saya rasakan kembali dalam-dalam cerita-cerita penduduk sederhana tentang Merapi selama ini. Gunung Merapi sedang meletus.
Tapi sering saya dengar penduduk di lereng Merapi mengatakan demikian: Mbah Merapi lagi duwe gawe. Duwe gawe apa? Duwe gawe reresik awake lan menungsane (Mbah Merapi sedang punya hajatan. Hajatan apa? Hajatan membersihkan dirinya sendiri dan manusianya). Dan kata mereka lagi: Merapi ora njeblug ning ngamuk. Merga apa? Merga kelakuane menungsa (Merapi bukannya meletus, tapi marah. Marah karena apa? Karena kelakuan manusia).
Dari pernyataan mereka terasa bahwa kejadian di Merapi dilihat secara relasional terhadap hidup dan kelakuan manusia. Dalam pemahaman orang-orang sederhana itu, alam tak pernah berdiri sendiri: alam dan manusia berada dalam relasi yang erat dan mendalam. Karena itu, peristiwa alam, seperti erupsi Merapi ini, juga bisa ditangkap sebagai purifikasi atau teguran terhadap manusia dan kelakuannya.
Erupsi Merapi yang dahsyat kali ini tak hanya mengancam para pengungsi yang bertebaran di daerah Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang, tapi juga menimbulkan ketakutan kolektif. Kolektif, karena ketakutan itu mengenai seluruh lapisan masyarakat, di luar korban. Siapa pun tiba-tiba dicekam kegelisahan, bisa saja erupsi itu mengenainya dan menghancurkan segala miliknya.
Ketakutan kolektif menjadi tidak proporsional lagi, artinya menjadi berlebih-lebihan dan tidak sebanding lagi dengan realitas ancaman bencana yang sesungguhnya. Ketakutan kolektif ini juga menjadi lahan yang subur bagi pelbagai macam spekulasi klenik yang makin menggelisahkan manusia, apalagi jika media ikut mengipas-ngipasinya.
Ilmu pengetahuan pun, dalam hal ini vulkanologi, terkena imbas oleh ketakutan kolektif itu, sampai dengan kecanggihan apa pun tidak berani lagi menjaminkan keselamatan manusia akibat ancaman erupsi Merapi.
Dalam ketakutan kolektif itu, manusia dipojokkan kembali pada keterbatasan dan ketakmampuannya.
Tak heran jika Merapi lalu dirasakan sebagai ketransendenan yang melampaui segala keterbatasan manusia. Itulah pengalaman yang membuat orang memandang Merapi bukan sebagai gunung berapi, tetapi sebagai simbol yang memuat ketransendenan. Merapi lalu dipribadikan dan disapa dengan Mbah Merapi.
Karena dimuati oleh yang transenden, Merapi harus dihormati. Dan di hadapannya, orang harus bersikap rendah hati. Ketika Merapi menunjukkan kekuasaannya dengan gejala ancaman erupsi, selayaknyalah orang mengakui keagungannya dengan rela menjauhinya. Kekuasaan dan keagungan itu tidak boleh dan tidak bisa dilawan dengan dalih apa pun, juga dengan dalih kesetiaan.
Menantang keagungan dan kekuasaan Merapi adalah kebalikan dari sikap rendah hati yang dituntut ketika manusia berhadapan dengan transendensi, yang dilambangkan dengan Merapi. Di sini Mbah Merapi yang kesannya mitologis dan irasional itu ternyata bisa memaksa manusia untuk bersikap arif dan rasional.
Arif, agar ia berhati bening dan menjauhi kesombongannya. Dan rasional, agar ia tidak berspekulasi dengan perhitungan apa pun, termasuk kebatinan dan klenik, kecuali fakta bahwa erupsi sudah mengancam. Sayang, hal ini diabaikan, dan akibatnya hanyalah kurban manusia bergelimpangan.
Dalam konteks dan kemelut kenegaraan kita sekarang, erupsi Merapi adalah daya dobrak alam yang memaksa kita untuk meninggalkan keirasionalan dan teguh berpegang pada yang rasional. Hal ini kiranya berlaku lebih-lebih untuk pemimpin-pemimpin kita. Sebab tidakkah pemimpin negara ini sering berpegang pada perklenikan dan hal-hal irasional dalam menjalankan kekuasaannya?
Untuk melegitimasikan kekuasaannya, mereka sowan kepada orang-orang sepuh atau dukun yang dianggap linuwih. Berhadapan dengan Merapi yang njeblug, semuanya itu tak ada saktinya lagi. Yang bisa dan harus kita buat hanyalah bertindak secara rasional dan tidak sombong terhadap transendensi.
Erupsi Merapi dengan demikian memaksa manusia untuk mengakui keterbatasannya dan berupaya semaksimal mungkin menggunakan akal budinya.
Koreksi terhadap sikap hidup manusia yang bertepatan dengan erupsi Merapi, itulah yang dibahasakan penduduk lereng Merapi dalam pernyataan ini: ”Mbah Merapi lagi reresik awake lan ngresiki manungsane” (Mbah Merapi sedang membersihkan diri dan membersihkan manusia).
”Break” dengan kemajuan
Sudah lama para cerdik cendikia curiga terhadap apa yang dinamakan kemajuan. Peradaban memicu manusia untuk tak henti-hentinya mengupayakan kemajuan. Lama-lama manusia mengupayakan kemajuan itu bukan demi kemanusiaan dan lingkungan hidupnya, tetapi demi kemajuan sendiri.
Ide kemajuan semacam itu sesungguhnya menyimpan penghancuran terhadap kemajuan itu sendiri. Sulit untuk membuat break bagi manusia yang umumnya ndableg dan keras hati ini, bahwa ide kemajuan itu adalah salah. Kekejaman alamlah satu-satunya aparat yang bisa menegur kekerasan hati dan kekonyolan manusia itu. Dan itulah yang kiranya terjadi dengan erupsi Merapi kali ini.
Memang sesungguhnya telah terjadi kesalahan dalam diri kita dan lingkungan kita dewasa ini. Dan kesalahan itu tak terdeteksi karena optimisme kita akan kemajuan.
Sementara, optimisme itu sendiri terjadi karena pandangan sejarah kita yang melulu linier: kita akan maju dan terus maju sampai kita meraih kesempurnaan yang kita kejar. Ide ini membuat kita merasa stabil dan mapan.
Tetapi ide ini tidaklah seimbang, karena ia melupakan dan mengabaikan sejarah alam yang seharusnya juga menjadi bagian dari sejarah kita. Dan berkebalikan dengan sejarah kemajuan yang linier dan mapan itu, sejarah alam mengandung kebetulan, diskontinuasi, dan disintegrasi.
Karena tak mungkin kita melepaskan diri dari sejarah alam, maka suatu saat diskontinuasi, disintegrasi, dan kebetulan itu masuk ke dalam sejarah kita dan mengobrak-abrik kemapanan dan mematahkan kelinieran kita. Itulah yang dalam konsep Jawa disebut gara-gara. Dan kali ini gara-gara itu terjadi bersamaan dengan erupsi Merapi. Begitu gara-gara itu terjadi, tersibaklah segala kekonyolan dan kesalahan kita yang selama ini tertutupi dan terselimuti.
Gara-gara itu menguakkan kepada kita bahwa akeh tumindake manungsa kang nalisir, akehbarang mrojol saka tatanan, banyak kelakuan manusia yang menyimpang, dan banyak hal yang menerjang tatanan. Tidakkah bersama erupsi Merapi ini kita menyaksikan dengan lebih terang-terangan ulah manusia, lebih-lebih ulah pemimpin kita, yang tak tahu diri, yang menyimpang dari norma-norma dan tatanan?
Gara-gara itu juga menyibakkan apa pun yang dibuat pemimpin kita mung reribet uwohipun (hanya menghasilkan kekacauan dan kerepotan saja). Jelasnya, pemimpin kita dibuat seperti kehilangan daya dan kuasa untuk menolong rakyatnya. Niat baik pemimpin kita seakan selalu terpatahkan menjadi kegagalan.
Tidakkah keinginan pemimpin kita untuk mendekatkan diri pada daerah bencana Merapi belum lama ini malah menjadi lelucon karena tidak menghasilkan apa-apa, malah membuat reribet saja?
Memang erupsi Merapi seakan memandulkan kehebatan yang selama ini digembar-gemborkan pemimpin kita. Gara-gara itu juga ngilangake tentreming batin, tinulak datan kena, malah andelarung saya ndadra (menghilangkan ketenteraman batin, tak bisa dihindari, malah makin menjadi-jadi). Tidakkah erupsi Merapi ini telah menyebabkan ketakutan kolektif, yang membuat siapa saja tidak tenteram, dan merasa tidak bisa menghindar dari bahaya yang mengancam?
Dan ketika gara-gara itu terjadi, guna arta tanpa daya, kasantikan datan migunani, tansah usreg isining rat (pesona uang tak berdaya, kesaktian lumpuh, dan jagat seisinya terus kacau). Tidakkah erupsi Merapi ini telah menghanguskan kesaktian, membuat sia-sia segala tumpukan harta, dan menerakan kegelisahan dan kegundahan tiada tara?
”Memayu hayuning buwana”
Erupsi Merapi memang merupakan kerja alam. Tetapi sebagai gara-gara, ia telah menuding dan menegur manusia, menyibakkan kesalahannya. Dan dalam alam pikiran Jawa, gara-gara bukanlah sekadar bencana: gara-gara adalah proses pembaruan alam semesta, yang dipicu dengan perubahan atau bencana alam.
Maka dengan erupsi Merapi sebagai gara-gara, bukan hanya alam, tetapi juga manusia yang dibersihkan dan diperbarui.
Karena itu, dengan reresik awake (membersihkan dan menata dirinya) lewat erupsi, Merapi, simbol transendensi itu, sesungguhnya sedang mengajak manusia untuk membarui, menyucikan, dan menata dirinya.
Dengan erupsinya, Merapi memaksa manusia untuk ngeduwungi lan nyingkiri tumindake sing ala (bertobat dan berpaling dari kelakuannya yang jahat). Dalam arti ini, erupsi Merapi yang alamiah itu juga merupakan suatu peristiwa transendental karena memaksa manusia untuk bertobat dan berpaling lagi kepada Khaliknya dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Yang terakhir inilah sesungguhnya makna terdalam dari erupsi Merapi sebagai gara-gara.
Tobat itu akan mewujud bila setelah erupsi Merapi ini manusia bersama-sama mau mewujudkan memayu hayuning buwana, yang selama ini ditinggalkannya. Memayu hayuning buwana adalah konsep keselamatan yang menganjurkan suatu etika hidup: sayangilah alam dan sertakan alam dalam hidupmu, jika kamu ingin selamat.
Dengan konsep keselamatan itu, manusia diajak untuk tak seenaknya lagi menentukan sejarahnya sendiri. Jelasnya, manusia harus memperhitungkan alam semesta, dengan segala kekayaan dan kekurangannya, jika ia mau selamat.
Maka dalam laju optimismenya terhadap kemajuan, manusia juga harus bersiaga terhadap disintegrasi, erupsi, dan diskontinuasi yang disebabkan oleh pembaruan alam.
Dengan demikian, manusia dididik untuk senantiasa eling lan waspada, bahwa manusia hanyalah bagian dari kesemestaan, karena itu ia tidak boleh seenaknya menuruti keserakahan dan kerakusannya sendiri. Berhadapan dengan kesemestaan itu, manusia akan mengalami ketransendenan, yang membuat ia menyadari bahwa dirinya adalah insan yang amat terbatas.
Memayu hayuning buwana itu tak hanya berkenaan dengan alam, tetapi juga dengan kesosialan dan kebersamaan. Kebijaksanaan itulah yang diajarkan oleh erupsi Merapi, dan tiba-tiba menjadi praksis yang menyalakan harapan. Memang erupsi Merapi kali ini telah menyatukan semua orang untuk memberikan diri pada kemanusiaan.
Sehari-hari negara ini sedang resah karena ancaman perbedaan golongan dan agama. Masalah tersebut tiba-tiba lenyap karena erupsi Merapi. Semua orang bersama-sama menolong korban dan pengungsi, tanpa membeda-bedakan agama dan golongannya. Orang Muslim ditampung, dilayani, dan menjalankan ibadahnya dalam gereja dan sekolah-sekolah Kristen atau Katolik. Orang Kristen dan Katolik bernaung dengan damai dan aman di masjid-masjid.
Seminari, tempat pendidikan calon imam gereja Katolik, juga gereja-gereja ternyata bisa menjadi tempat, di mana para dai, ustaz, dan santri-santri Nadlatul Ulama mengadakan tahlilan, yasinan, salawatan, dan pengajian bersama para pengungsi yang Muslim. Agama-agama tiba-tiba dipaksa melupakan perbedaannya ketika mereka bersama-sama menghadapi kemanusiaan yang sedang diancam oleh penderitaan akibat erupsi Merapi.
Memang erupsi Merapi ternyata memberi peluang bagi kita untuk membangun dan mewujudkan kebersamaan, kendati segala perbedaan. Dan erupsi itu memaksa agama-agama untuk kembali pada hakikatnya: bahwa agama itu ada, bukan demi agama sendiri, tetapi demi kemanusiaan seluruh semesta. Masing-masing agama memang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi masing-masing agama tidak bisa berdiri sendiri, mereka terkait satu sama lain, karena itu mereka terkait pada kesemestaan.
Dan untuk mengusahakan kesemestaan yang nyaman bagi manusia, erupsi Merapi membuka apa yang seharusnya dilakukan agama-agama: bukan menggembar-gemborkan dan mengklaim kebenaran ajarannya, tetapi mewujudkan kemanusiaan yang menyatukan.
Sementara, dengan erupsi Merapi juga telah dibenarkan bahwa kemanusiaan nyata-nyata bisa menyatukan perbedaan dan bisa menjadi dasar bagi persatuan. Karena itu, erupsi tersebut memberi pelajaran yang amat berharga tentang memayu hayuning buwana atau pembangunan semesta, yakni: Kita akan diselamatkan bersama-sama, atau kita tidak akan diselamatkan sama sekali!
Peluang kultural
Erupsi Merapi memang telah menyebabkan penderitaan. Tetapi, erupsi itu juga memberi rezeki berlimpah, berupa pasir dan abu vulkanik yang menyuburkan tanaman. Warga sederhana kiranya akan diuntungkan oleh rezeki itu.
Tetapi, di samping itu semuanya, erupsi Merapi juga memberi peluang kebudayaan yang luar biasa. Para pemimpin masyarakat kiranya perlu memanfaatkan peluang tersebut, khususnya Sultan Hamengku Buwono X. Sebab, di samping gubernur, Sultan adalah pemimpin kultural di tempat di mana erupsi Merapi sedang memberi peluang kebudayaan tersebut.
Seperti ketika reformasi meletus dan Sultan mengambil inisiatif untuk meneriakkan perubahan, demikian pula ketika Merapi meletus, kali ini Sultan kiranya perlu meneriakkan bahwa keselamatan bangsa dan masyarakat hanya dapat kita raih jika kita meraihnya bersama- sama.
Sultanlah pribadi yang paling berwenang dan bertanggung jawab untuk menyerukan hikmah memayu hayuning buwana yang diajarkan erupsi Merapi kali ini, yakni bahwa kemanusiaan, apa lagi bisa sedang diancam penderitaan, haruslah menyatukan kita kendati segala perbedaan yang kita punya.
Sultan perlu juga mengingatkan bahwa mengutamakan perbedaan dengan melalaikan kemanusiaan adalah pengkhianatan terhadap pengalaman transendental tentang memayu hayuning buwana yang diberikan oleh erupsi Merapi kali ini.
Sultan kiranya tidak boleh diam untuk tak bosan-bosannya menyerukan dan mewujudkan hikmat erupsi Merapi itu. Kalau Sultan diam, peluang kebudayaan yang dianugerahkan oleh gara-gara Mbah Merapi itu akan hilang ditelan oleh kelupaan yang menjadi penyakit khas bangsa kita tercinta ini.

(Sindhunata Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta)


Reason!


Kenapa sich aq sangat bersemangat untuk membuat blog TL? Sebenarnya karena ini nih...



Hmph, teknik lingkungan undip sebenarnya punya potensi yang cukup baik untuk berkembang menjadi TL terbaik yang mampu menyaingi jurusan-jurusan TL lain di Indonesia dan dunia. Tapi karena memang universitas diponegoro saat ini masih memasuki tahap pembangunan, terutama dalam hal IT, maka teknik lingkungan undip juga masih pas-pasan. Beruntung saat ini, di TL 2010 terdapat orang IT yang bisa membuat web yang baik dan profesional, tinggal tunggu waktunya saja. Blog ini hanyalah sebagai awal untuk pengembangan TL 3 tahun ke depan. Sebagai janji, penulis percaya TL undip 3 tahun ke depan akan menjadi jurusan yang berkembang dan mampu dilihat keberadaannya di tingkat nasional dan internasional! Amin!

So, bagi temen2 TL undip 2010, penulis minta bantuannya ya.. posting apa saja diterima disini, tidak ada perbedaan. SEMUA BOLEH MENULIS!

OK! Jumpa di posting selanjutnya ya! Sippp!

FIELD TRIP TEKNIK LINGKUNGAN UNDIP 2010


Assalamualaikum Wr Wb
9 Desember 2010

My Best Pal, how do you do?? Maaf ya, gag terasa bima sudah meninggalkan sahabat-sahabat sekian lama. Untuk pertemuan kali ini, bima bakalan kasih sahabat informasi mengenai kegiatan yang telah bima lewati hari ini. Apa sih?? Ote_ nih q kasih tahu:

FIELD TRIP TEKNIK LINGKUNGAN UNDIP 2010

Hemmph, oke... I will start my story...

Kegiatan ini diikuti oleh seluruh mahasiswa teknik lingkungan undip 2010 dan beberapa mahasiswa ekstensi serta kak ilman, kak rahmat, pak winardi dan bu sri. Dimulai dengan ngumpul di GSG jam 7 pagi,, cekper, cek nomor bis dan lain sebagainya. After that, ada sambutan dan doa yang dipimpin oleh kak ilman. Setelah segala persiapan telah selesai, rombongan dibagi menjadi 2 kloter yaitu kloter bis A yang ke pHapros dan kloter bis B ke PDAM dan bertemu di satu titik tujuan bersama yaitu TPA JatiBarang.

Karena bima ikut rombongan Phapros, so aku gag bisa cerita banyak mengenai PDAM kelud pada part ini. InsyaAllah setelah semua data yang kubutuhkan mencukupi, aku akan posting lagi soal PDAM kelud. Oke brother! Now, we comeback to Phapros.

PT Phapros adalah sebuah perusahaan perseroan yang merupakan salah satu dari 10 perusahaan farmasi terkemuka di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari konsep manajemen perusahaannya yang baik. PT Phapros yang didirikan pada tanggal 21 Juni 1954 oleh Oei Tiong Ham Concern, seorang konglomerat yang terkenal di masanya, sekarang telah memiliki berbagai cabang di kota-kota besar di seluruh indonesia. PT Phapros merupakan anak perusahaan dari PT Rajawali Nasional Indonesia (PT RNI) yang telah mendapatkan berbagai macam sertifikat dalam dunia farmasi salah satunya adalah sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik. Perusahaan yang mendapatkan peringkat silver dalam Green Company ini menghasilkan berbagai macam obat yang terbuat dari beta laktam dan non beta laktam serta beberapa obat agromed yang mengusung prinsip fitoparmata.

Dalam kunjungan ini, kami mendapatkan sambutan yang luar biasa dari pihak manajemen Phapros. Begitu sampai di tempat, kami dipersilahkan untuk masuk ke gedung Avicenna yang kemudian digunakan untuk presentasi singkat mengenai perusahaan, safety induction untuk keselamatan dalam kunjungan dan sesi tanya jawab setelah berkeliling area perusahaan.

Setelah presenntasi perusahaan selesai, kami diantarkan untuk berkeliling area perusahaan dan melihat proses pembuatan obat non beta-laktam dan pengolahan limbak IPAL 1 dan IPAL 2 yang cukup menarik dan membuat penasaran. Kami tidak diperkenankan memasuki gedung tempat pembuatan obat beta laktam karena senyawa beta laktam dapat membahayakan seseorang yang alergi terhadapnya. Proses pengolahan limbah yang unik dan cukup asing ditelinga kami semakin memberikan semangat kepada kami untuk belajar lebih giat lagi (hahaha,, yak’e). Walaupun hanya bisa melihat dari luar proses kerja dari pembuatan dan pemrosesan obat serta pengolahan limbah farmasi, kami merasa puas dan semakin bersemangat untuk belajar (amin!) karena dunia kerja dalam hal ini industri, telah menarik minat kami khususnya dalam pengolahan limbahnya yang dikatakan masih belum maksimal karena berbagai faktor.


Jam 11.30 tepat acara berkeliling perusahaan selesai, kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan makan-makan. Kami tidak menyangka pihak phapros telah menyiapkan gudeg komplit yang ruarrr biasa (perbaikan gizi niyeee...). Sebuah jamuan yang mengesankan, hehe... sayaaaaanngg sekaliiii aku tidak bisa menghabiskan makanannya karena mual yang kemudian menggangguku hingga akhir perjalanan ini.. arggghhh.... curcol mode on!!


Selesai tanya jawab dan makan-makan, kunjungan di PT Phapros ditutup oleh ibu Emi (ibunye dias) dan pak win sebagai wakil dari Teknik Lingkugan. Then, we go to the mosque and pray together...


Pemberhentian selanjutnya adalahTPA Jati Barang. Di tengah perjalanan kami berhenti sejenak untuk menjemput teman kami di bis B yang sebelumnya berdesak-desakan karena pembagian kloter yang hanya 52 orang yang boleh ke phapros. Setelah mendaki gunung melewati lembah, kami akhirnya sampai juga di tempat idaman para pemulung, TPA Jati Barang! Pertama kali turun dari bis kami disibukkan untuk mennutup hidung karena baunya yang mirip bau kesturi (gedebus!) bagi para sapi, hahaha.... setelah berjalan cukup jauh, kira-kira 1 km, kami akhirnya sampai juga di jati barang. Sungguh sebal! Kami tidak bisa memasuki area TPA dan pengolahan air lindi karena jalanan yang cukup becek dan membuat kita tidak bisa melewatinya. Kami hanya bisa menunggu di area yang akan dibangun pabrik pupuk. Humph, bima kemudian bertemu pak aris yang merupakan penjaga TPA yang kemudian memberikan banyak informasinya kepada bima, dias dan nurani. And this is what can we learn from him:

TPA Jati Barang dibuka pada tahun kelahiranku, 1992, sekaligus ditetapkan sebagai TPA Kota Semarang. Jati barang merupakan lokasi yang strategis untuk dibangun TPA pada masa itu karena selain tempatnya yang masih sangat luas yaitu sekitar 44,5 hektare, juga karena jauh dari pemukiman sehingga tidak mengganggu pemukiman perkotaan dengan bau dan kekumuhannya. TPA ini menggunakan konsep semi sanitary landfill yang pada umumnya digunakan hampir di seluruh kota di indonesia. TPA ini dibagi menjadi 6 sektor, dan yang bima ketahui ada 2 sektor utama yaitu sektor aktif dan pasif. Sektor aktif merupakan sektor yang masih digunakan untuk meletakkan sampah dari kota, sedangkan sektor pasif merupakan sektor yang sudah tidak dapat lagi ditimbun sampah. Terdapat penimbangan muatan sampah di kantor TPA Jatibarang satu-satunya di Indonesia yang berfungsi untuk mengetahui kapasitas muatan sampah yang diangkut setiap harinya. Sekitar 700 ton sampah dari seluruh bagian kota semarang masuk ke TPA Jatibarang dan sekitar 40 ton sampah diantaranya berasal dari pasar Johar. Dengan mengetahui muatan yang masuk ke TPA Jatibarang diharapkan dapat diketahui usia TPA ini dalam menampung sampah dari kota Semarang.

Adaa yang cukup menarik minat bima dalam diskusi bersama pak aris, yang pertama adalah permasalahan sapi-sapi yang semakin memenuhi TPA Jatibarang. Pemandangan pertama yang bima lihat di TPA ini adalah banyaknya sapi yang mengais sampah untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Prihatin. Tapi masyarakat disini justru mengembangbiakkannya dan melepasnya begitu saja untuk mencari makan ditengah bukit sampah. Konsep awal mula pemberdayaan sapi di TPA adalah dari TPA Putri Cempo, Solo. Dari sekitar 200 sapi, sekarang menjadi 4000 sapi milik warga yang ada disana. Sapi-sapi ini tidak akan mau diberi makan rumput, bahkan rumput segar sekalipun. Mereka hanya ingin makan sampah. Permasalahan gizi yang dulu pernah diteliti oleh mahasiswa undip bahwa sapi TPA Jatibarang mengandung 9 logam berat yang berbahaya tampaknya tidak menyurutkan masyarakkat untuk mengembangbiakkan sapi disana. Sapi-sapi ini semakin lama juga semakin mengganggu proses penurunan dan pengangkutan sampah karena sangat memenuhi area TPA.

Yang kedua adalah kehidupan warga disana. Mayoritas warga di sekitar TPA berprofesi sebagai pemulung, PEMULUNG EMAS. Kenapa bisa?? Yaph, ternyata pemulung di TPA Jati Barang dapat menghasilkan uang sekitar 100 ribu per harinya! Percaya gag loee?? Kenapa bisa? Pemulung di TPA Jatibarang dapat mengubah sampah menjadi emas, maksudnya, tulang, pecahann kaca, botol bekas, dan sampah-sampah sulit urai lainnya dapat diolah dan dijual ke tengkulak dengan harga yang tinggi. Sebagai contoh yang paling mudah, ternyata tulang pun bisa dijual! Tulang yang digiling, dijadikan serbuk digunakan sebagai campuran dedak –sejenis makanan burung- untuk menguatkan lapisan cangkang kulit telur yang dihasilkan olehn unggas. Selain itu, setiap pemulung/warga biasanya memiliki sekitar 40 sapi. Makanya, gag usa kaget deh kalo kapan2 ngeliat rumah pemulung, dari luar kelihatan bobrok tapi dalemnya... huuuhhh, kulkas, TV 21 inch, motor, sapi 40 ekor tiap orangnya, dsb. Ya bener kata pak aris: “Kalo TPA Jatibarang dipindah, warga pasti demo, yap! Karena mata pencaharian mereka berasal dari sampah2 ini.”

Pengolahan air lindinya menggunakan 10 kolam yang di setiap kolamnya terdapat satu kincir air yang berfungsi sebagai filter sekaligus aerator sehingga di kolam terakhir dihasilkan air yang siap untuk dibuang ke sungai tanpa mencemarinya. Di kolam terakhir juga diberikan semacam tanaman organik dan kadang diberikann larutan kimia yang mampu meningkatkan kualitas air dan menurunkan tingkat polusi air limbah tersebut.

Ohohoho... mungkin sekian dulu dah tulisan bima kali ini, cape ternyata nulisnya! Buat gambar dan tambahan artikel akan aku posting dikemudian hari, okkeeh!
Now it’s time for sleep, dreaming me okey!
Hehe
I think that’s all from me, if there are some mistakes, forgive me....
Wassalamualaikum Wr Wb

Copyright in TL Undip 2010. Powered by Blogger.